Cystic Fibrosis (CF) adalah penyakit genetik yang progresif, di mana lendir tebal dan lengket secara bertahap merusak banyak organ tubuh, terutama paru-paru. Dampak paling nyata dari kondisi kronis ini adalah Kualitas Hidup Menurun bagi penderitanya, seiring dengan meningkatnya frekuensi infeksi, berkurangnya fungsi paru-paru, dan timbulnya komplikasi sistemik. Mengingat sifat penyakit ini yang tidak dapat disembuhkan dan semakin memburuk seiring waktu, pemahaman mendalam mengenai risiko jangka panjang dan ancaman kematian akibat Cystic Fibrosis menjadi sangat penting bagi pasien dan keluarga.
Penyebab utama dari Kualitas Hidup Menurun pada pasien CF adalah kerusakan paru-paru yang progresif. Lendir kental menyumbat saluran udara kecil (bronkiolus), menciptakan lingkungan yang ideal bagi bakteri untuk berkembang biak, terutama Pseudomonas aeruginosa yang sulit diberantas. Infeksi berulang ini menyebabkan peradangan kronis dan kerusakan permanen pada jaringan paru-paru, yang dikenal sebagai bronkiektasis. Seiring waktu, kerusakan ini mengakibatkan Gagal Napas. Berdasarkan data klinis dari Lembaga Registrasi CF Nasional pada tahun 2024, Gagal Napas saat ini masih menjadi penyebab utama kematian pada lebih dari 90% penderita Cystic Fibrosis dewasa.
Selain paru-paru, Kualitas Hidup Menurun juga dipengaruhi oleh komplikasi di organ lain, khususnya pankreas dan sistem endokrin. Seperti yang diketahui, CF menyebabkan Insufisiensi Pankreas Eksokrin, yang memerlukan konsumsi enzim pencernaan seumur hidup. Selain itu, sekitar 20% pasien remaja dan dewasa CF mengembangkan Diabetes Terkait Cystic Fibrosis (CFRD) karena kerusakan pankreas, yang semakin memperumit pengelolaan gizi dan meningkatkan risiko kematian jika tidak dikontrol dengan baik. Untuk mengatasi komplikasi ganda ini, pasien wajib menjalani pemeriksaan rutin ke dokter spesialis paru dan endokrinologi minimal setiap enam bulan sekali, terhitung sejak usia 13 tahun, sesuai protokol standar penanganan CF.
Tantangan hidup dengan CF tidak hanya fisik, tetapi juga psikososial, yang berkontribusi pada Kualitas Hidup Menurun. Rutinitas pengobatan harian yang padat—meliputi nebulisasi, terapi fisik dada, dan minum banyak obat—menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari, membatasi partisipasi sosial dan pendidikan. Pada akhirnya, ketika fungsi paru-paru menurun drastis dan tidak dapat diperbaiki lagi oleh obat-obatan, satu-satunya intervensi yang mungkin menyelamatkan jiwa dan meningkatkan harapan hidup adalah Transplantasi Paru-paru. Namun, prosedur ini pun datang dengan risiko kematian yang tinggi dan memerlukan perawatan imunosupresif yang ketat pasca-operasi. Dengan intervensi medis yang canggih, median harapan hidup pasien Cystic Fibrosis terus meningkat, namun ancaman fatal dari Gagal Napas tetap menjadi bayang-bayang serius yang harus dihadapi.
